PHK, Severance, dan Ruang Kerja yang Sepi Duka
Javano Sultan Mastoni

PHK, Severance, dan Ruang Kerja yang Sepi Duka

4 hari yang lalu 6 MENIT MEMBACA

Sekitar 60.000 manusia di Indonesia telah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sejak awal tahun 2025, menurut laporan data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia yang dilansir oleh Tempo.co

Versi berbeda disampaikan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), yang mencatat angka 24.000. Namun, perbedaan angka tersebut tampaknya tidak lagi relevan ketika kita sudah bisa mendengar langsung kabar buruk PHK ini dari kerabat terdekat, keluarga, teman, rekan kerja, atau bahkan Anda yang sedang membaca. 

Baik itu ujaran langsung, cuitan di Twitter, maupun reels di Instagram, publik sudah sangat menyadari bahwa kondisi ekonomi memang sedang tidak stabil. Tanpa komunikasi yang transparan dari pihak perusahaan, rasa cemas tentu sulit dihindari.  

Fakta memang penting, tetapi di hari yang kelam ini izinkan saya mengungkapkan sesuatu yang lebih dari fakta. Seperti yang sudah tergambar dari judul, tulisan ini sebagian besar hanya sentimentalisme belaka yang saya rasakan ketika menonton serial TV Severance (dapat disaksikan di Apple TV jika penasaran) dan berkaca pada kelamnya peristiwa belakangan ini. 

Baca juga: Di Balik Hashtag Viral “Kabur Aja Dulu”

PHK Severance

Severance bercerita tentang sebuah dunia kerja futuristik dengan prosedur super canggih bernama severance, yang dapat memisahkan kesadaran seseorang antara jam kerja (9-5) dan di luar jam kerja. Dengan kata lain, tercipta dua kesadaran dalam satu tubuh yang sama. 

Mereka yang hanya hidup dalam kantor (disebut innie) dan mereka yang berada di luar kantor (outie). Keduanya tidak menyimpan ingatan satu sama lain.

Terdengar seperti cara terbaik untuk mencapai work life balance? Mungkin. Namun, coba pikirkan lagi baik-baik: Satu tubuh dengan dua kesadaran yang berbeda, satu terjebak bekerja untuk selamanya sampai maut menjemput dan satu lagi memperoleh hasil jerih payahnya tanpa mengerjakan apa pun. 

Masih terdengar baik? Jika ya, mungkin sudah saatnya kita mempertanyakan nilai etika dan moralitas diri sendiri.

PHK
Kesadaran bercabang dua.

Bagi para innie, pekerjaan mereka adalah segalanya, satu-satunya yang mereka miliki, karena hidup mereka hanya sejauh jarak ruang kerja menuju lift kantor dengan jarak tidak lebih dari 500 meter. Mereka tidak akan pernah merasakan kebahagiaan saat semilir lembut angin yang perlahan membawa naik balon udara outie ketika sedang di Cappadocia menerpa wajahnya.

Atau segarnya smoothies yang sedang outie hisap kala menyaksikan tenggelamnya mentari di suatu pantai di Bali. Semua karena pada suatu masa outie mereka setuju untuk melakukan prosedur pemisahaan dan akibatnya sebuah kehidupan yang tidak pernah diminta lahir untuk terkutuk selamanya di ruang kerja.

PHK
Sisyphus Modern oleh Victoria Semenets (2020).

Layaknya Sisyphus yang dikutuk selamanya untuk mendorong batu menuju puncak, pilihan para innie untuk merasakan secercah kebahagiaan sangat bergantung kepada diri sendiri dan rekan kerjanya. Mereka perlu membayangkan bahwa mereka bahagia. 

Kebahagiaan bagi para innie bukan berasal dari hasil jerih payah yang tidak akan mereka rasakan, melainkan melalui jokes garing yang tiba-tiba dilontarkan rekan kerja di sela-sela coffee break, melalui umpatan dan coretan yang diam-diam ditujukan kepada atasan menyebalkan, melalui ekspresi konyol akibat menyesap kopi yang terlalu panas dan terlalu pahit, melalui pesta dansa lima menit yang hanya dilakukan jika mencapai target atau sesederhana ucapan “apa kabar” yang sama sekali tidak relevan — mengingat pengalaman kehidupan innie yang sangat terbatas —tetapi justru karena itu menyiratkan kepedulian yang tulus. Dengan gelak tawa serta pengalaman dan derita bersama, sebuah ikatan keakraban dan solidaritas tercipta yang hanya akan terusik oleh satu hal.

Mark, Helly, dan Dylan (para innie) masuk ke ruang kerja seperti biasa. Menggunakan pakaian kerja seperti biasa, di jam seperti biasa, dan melalui lift yang biasa. Namun, di hari itu, ada satu hal yang tak seperti biasanya, bukan lagi empat komputer, empat kursi, dan empat meja. Semuanya kini berkurang satu. 

Irving tidak akan pernah masuk ke kantor itu lagi. Prosedur Severance-nya dihentikan dan kini outie-nya resmi menjalani masa pensiun. Namun, bagi para innie rekan kerjanya, innie Irving bukan hanya dipensiunkan, eksistensinya telah mati. 

Secara fisik, Irving masih ada di luar sana, di rumahnya barangkali sedang merencanakan plesir. Namun, ia bukanlah Irving yang dikenal oleh para innie. Bagi para innie, Irving yang mereka kenal kini lenyap tanpa sisa.

Baca juga: Survei Populix: Kesetaraan Perempuan di Dunia Kerja Saat Ini

PHK severance
Ruang Kerja yang Tak Sempat Berduka.

Baik di serial TV maupun di dunia nyata tempat kita bekerja, PHK bukan sekadar tindakan efisiensi atas dasar kepentingan finansial, tetapi juga penjagalan eksistensi. Bahwa kita kehilangan keberadaan seorang rekan yang dengannya kita berbagi tawa dan derita. 

Tentu, kita masih dapat melihat mereka di IG Stories, WA Status, atau menyapa langsung kabarnya melalui kontak di HP, tetapi keakraban yang dipupuk dengan tulus di ruang kerja telah dijagal. Hanya menyisakan email yang kini tidak lagi berfungsi. Eksistensinya tereduksi menjadi sebuah nama dalam sistem yang sebentar lagi pun akan dihapus, tanpa ada batu nisan untuk berduka maupun tubuh untuk didoa dalam ruang kerja yang tak pernah berduka.

Satu hal yang ingin saya sampaikan adalah sering kali kita menganggap keakraban dengan rekan kerja sebagai sesuatu yang terlalu lumrah sehingga jarang dihargai sepatutnya. Hanya saat hal itu telah hilang, barulah kita tersadar dan meratap betapa berharganya dirimu, kawan. 

Ungkapan “kita adalah keluarga” memang sering kali menjadi jargon omong kosong yang digunakan korporat untuk mengeksploitasi tenaga kerja. Namun barangkali, kita mesti berhenti memikirkan gagasan bahwa rekan kerja bukanlah teman dan berhenti membangun tembok yang terlalu tinggi untuk memisahkannya. 

Karena mau bagaimanapun, di ladang yang sama tempat kita banting tulang demi sesuap nasi, mereka adalah sekutu yang paling berharga. Dan mungkin, satu-satunya hal yang membuat kita tetap manusia di ruang kantor bukanlah posisi, gaji atau pencapaian, melainkan siapa yang duduk di sebelah kita saat semuanya mulai terasa tak masuk akal.

Barangkali ada baiknya solidaritas tersebut diarahkan menjadi lebih terorganisir guna melindungi pekerja dari mereka yang berada jauh tinggi di menara gading. Saking tingginya, mereka melihat pekerja hanya sebagai angka, yang paling kecil dan yang paling besar, yang efisien dan tidak, paling tau soal harga, tetapi abai pada nilai sesungguhnya dari manusia. 

Mari kita berdoa bahwa gelombang PHK yang sedang gencar terjadi akan segera mereda dan takkan kembali menerpa untuk selamanya. Berdoa agar tuan-tuan yang kompeten segera sadar untuk mementingkan kepentingan bangsa bersama, alih-alih kepentingan pribadi maupun golongan tertentu. Bahwa yang mereka pegang bukan hanya angka, tetapi hidup dan martabat manusia. Karena jika tidak, maka Tuhan tolong kami.

REFERENSI: 

Badai PHK: Ujian bagi Pejabat Negara | tempo.co

download report populix

Baca juga: Gen Z: Peduli Mental Health, Tapi Abai Kualitas Tidur

Artikel Terkait
Sumber Informasi Pilkada 2024, Media Sosial Paling Banyak Dipilih
Gelaran Pilkada sudah di depan mata, karena pada 27 November 2024, masyarakat Indonesia akan menentukan siapa yang akan menjadi kepala daerah berikutnya. Segala informasi Pilkada 2024 pun dapat diakses di berbagai platform. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 menjadi salah satu ajang politik yang dinantikan oleh masyarakat karena memiliki peran penting dalam menentukan arah kebijakan daerah. […]
30 Kata-kata Motivasi Kerja, Boost Semangat Kerja Makin Giat
Menghadapi masalah tuntutan dan tantangan yang diberikan atasan kadang tidak semulus yang dibayangkan. Tentu anda tidak boleh menyerah. Seseorang dengan motivasi kerja yang kuat akan melihat tantangan tersebut sebagai tugas yang harus diselesaikan. Berbicara mengenai motivasi kerja, tidak jarang karyawan perusahaan mengalami demotivasi atau turunnya semangat untuk melakukan aktivitas. Dengan kata lain, kurangnya motivasi kerja […]
Program 3 Juta Rumah Prabowo, Apakah Disambut Positif?
Salah satu inisiatif program di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yaitu program 3 juta rumah. Program ini dijalankan untuk mengatasi kekurangan perumahan dan menyediakan hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Adapun program 3 juta rumah ini diharapkan dapat mengurangi backlog perumahan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sektor perumahan. Mengutip laman CNN Indonesia, […]