Hashtag kabur aja dulu menyebar luas secara sporadis di tengah situasi dalam negeri yang tampak sedang tidak baik-baik saja.
Meski isu ekonomi dan politik yang tengah berlangsung terkesan menjadi pemicu utama, sesungguhnya kecenderungan untuk “kabur” juga muncul karena kelompok demografi terbesar saat ini di Indonesia, yaitu Gen Z dan Millenial akhir, sedang mengalami salah satu fase menantang dalam kehidupannya.
Dalam konteks ini, kita akan mengulas beberapa faktor internal yang mendorong seseorang mengambil keputusan tertentu — termasuk keputusan untuk “kabur” dari negara yang terkasih.
Tulisan ini memang tidak bertujuan untuk mengulas satu persatu alasan dari #KaburAjaDulu. Namun, tulisan ini berupaya mengurangi stigma negatif dari sentimen terhadap individu yang berjuang di tengah kecemasan dari internal dan eksternal.
Baca juga: Tren Bekerja di Luar Negeri, Apa yang Jadi Motivasi Khalayak?
Quarter-Life Crisis
Generasi Z dan Millenial akhir (kelahiran akhir 90an) menjadi kelompok yang paling disorot dalam fenomena ini. Padahal, hal ini sebenarnya bukan semata-mata soal generasi, melainkan tentang konteks zaman yang membentuk pola pikir suatu kelompok usia yang beriringan dengan suatu fase krisis yang umum dialami oleh setiap manusia, yaitu quarter-life crisis.
Quater-life crisis merupakan kondisi psikologis yang umum terjadi pada usia 20–30 tahun, di mana seseorang mengalami kecemasan tentang masa depannya, terutama terkait identitas, karier, dan hubungan.
Di tengah situasi dalam negeri yang terasa kurang stabil, Gen Z dan Millennial akhir pun sedang berkelut dengan masalah internal dalam diri. Hashtag #KaburAjaDulu menjadi semacam jalan keluar sekaligus bentuk solidaritas.
Mereka merasa lebih tenang karena menyadari bahwa mereka tidak sendiri — banyak individu lain yang mengalami kegelisahan serupa.
Krisis ini bukan satu-satunya fase reflektif dalam hidup seseorang. Di usia yang lebih matang, kita mengenal istilah mid-life crisis — biasanya terjadi pada usia 40–50an.
Walaupun keduanya merupakan bentuk “life crisis,” tetapi fokus keduanya berbeda. Quarter-life crisis lebih terfokus pada kekhawatiran terhadap masa depan, sedangkan mid-life crisis lebih banyak berkutat pada penyesalan terhadap masa lalu — seperti kegagalan dalam karier, hubungan keluarga, atau kehidupan secara umum.
Jika Anda bertanya mengapa quarter-life crisis kini lebih banyak dibicarakan dibandingkan di generasi sebelumnya? Hal ini bisa dijelaskan lewat kehadiran media sosial yang dapat memberikan ruang bagi setiap individu untuk mengekspresikan emosinya secara bebas.
Kondisi ini menyebabkan individu yang hidup di era digitalisasi cenderung lebih terbuka dalam menyuarakan perasaannya, dibandingkan generasi sebelumnya.
Lalu, mengapa individu-individu yang kini berusia 40-50an yang mengalami mid-life crisis tidak segetol itu padahal mereka juga sudah terpapar teknologi?
Alasannya mungkin beragam, di antaranya dapat disebabkan oleh keterbiasaan mereka untuk menyimpan rapat-rapat permasalahan yang mereka alami, sebagaimana yang mereka lakukan sebelum adanya ruang aman bagi mereka yang sedang terluka secara batin, seperti saat ini.
Selain itu, alasan quarter-life crisis masih menyisakan peluang untuk mengubah masa depan, sementara mid-life crisis kerap dihadapkan pada keterbatasan waktu dan ruang untuk mengulang kembali keputusan masa lalu, sehingga quarter-life crisis terasa lebih mudah untuk diutarakan dibandingkan masalah pada mid-life crisis.
Lebih dari Sekadar Perilaku Menghindar
Secara psikologis, avoidance merupakan perilaku menghindari situasi yang dirasa tidak nyaman atau mengancam. Dalam konteks hashtag kabur aja dulu, banyak yang menganggap bahwa individu yang mendukung gerakan ini sekadar “lari” dari masalah dan dianggap tidak cukup tangguh menghadapi kenyataan.
Akan tetapi, jika ditelaah lebih dalam, keinginan untuk “kabur” juga lahir dari kegelisahan yang nyata — terutama dalam aspek finansial dan pekerjaan. Bagi Gen Z dan Millennial yang masih berada di fase early career, kekhawatiran akan ketersediaan lapangan kerja yang layak menjadi isu utama.
Kelayakan pekerjaan tidak hanya diukur dari jumlah lowongan yang tersedia, tetapi juga dari kecocokan antara kualifikasi lulusan dengan jenis pekerjaan yang ditawarkan.
Di luar sana, banyak lulusan S1 yang kesulitan menemukan pekerjaan sesuai bidang keahlian mereka, sehingga terpaksa menerima pekerjaan di luar disiplin ilmu mereka, bahkan dengan upah dan kondisi kerja yang tidak sebanding dengan tingkat pendidikan yang telah ditempuh.
Ketika peluang kerja yang sesuai kompetensi begitu terbatas, wajar jika banyak lulusan terbaik memilih mencari peluang di luar negeri. Ini bukan sekadar keinginan untuk ‘kabur,’ melainkan upaya mencari kesempatan yang lebih sepadan dengan kapasitas dan investasi pendidikan mereka.
Berdasarkan riset internal Populix (n=1.000) — mayoritas responden merupakan lulusan sarjana dan berasal dari kalangan upper class — tiga motivasi utama dalam keputusan untuk bekerja di luar negeri adalah:
- Keinginan memperoleh penghasilan lebih tinggi
- Pengembangan karier
- Kualitas hidup yang lebih baik
Hal ini menunjukkan bahwa hastag kabur aja dulu juga merepresentasikan harapan, bukan sekadar pelarian, untuk kehidupan yang lebih layak.
Baca juga: Job Mismatch: Permasalahan Serius yang Perlu Diperhatikan
Preferensi Lokasi dan Alasan di Baliknya
Sebanyak 7 dari 10 responden memilih Asia sebagai lokasi “kabur”. Sementara itu, 8 dari 10 responden menunjuk Singapura sebagai destinasi utama di Asia Tenggara.
Faktor kedekatan geografis dan kemudahan adaptasi menjadi alasan utama. Selain itu, pilihan ini juga sejalan dengan motivasi utama mereka:
- Peluang mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi
- Kesempatan pengembangan karier
- Persepsi terhadap stabilitas dan keamanan negara tujuan
Kondisi dalam negeri yang saat ini sedang tidak stabil menjadi salah satu dorongan penting dalam pengambilan keputusan tersebut.
Kesimpulan
#KaburAjaDulu adalah fenomena multidimensi yang tidak bisa dipandang sebagai “keinginan kabur dari masalah” semata. Ia adalah:
- Ekspresi quarter-life crisis di tengah ketidakpastian ekonomi dan sosial.
- Respons terhadap lapangan pekerjaan yang tidak menyediakan kesempatan yang layak.
- Strategi pencarian kehidupan yang lebih baik, terutama bagi mereka yang memiliki kemampuan dan sumber daya.
Gerakan hastag kabur aja dulu mencerminkan adanya tantangan sistemik dalam menciptakan lingkungan yang optimal bagi generasi muda yang akan menjadi penerus bangsa. Daripada menyalahkan mereka yang memilih “kabur,” mungkin kita perlu fokus mempertanyakan langkah solutif: Apa yang bisa diperbaiki agar mereka tidak merasa perlu pergi?

Baca juga: Pengguna Layanan Paylater di Indonesia Didominasi Milenial