Fenomena FOMO, Apa yang Bikin Konsumen Mudah Tergoda Membeli?
Aisyha Nabilla

Fenomena FOMO, Apa yang Bikin Konsumen Mudah Tergoda Membeli?

2 bulan yang lalu 4 MENIT MEMBACA

Fenomena FOMO atau Fear of Missing Out semakin sering dirasakan masyarakat saat ini. Misalnya, rasa cemas muncul ketika Anda takut ketinggalan momen penting, seperti flash sale di tanggal kembar, tiket konser yang habis hanya dalam beberapa menit, hingga produk yang mendadak viral karena digunakan oleh idola populer.

Situasi-situasi tersebut biasanya membuat konsumen terdorong untuk mengambil keputusan cepat karena khawatir kehilangan kesempatan atau tertinggal tren. Inilah yang memperkuat fenomena FOMO di tengah khalayak. 

Apa Itu FOMO?

Rasa cemas akan ketertinggalan atau lebih dikenal dengan istilah Fear of Missing Out (FOMO) telah lama diperkenalkan oleh Przybylski et al, (2013) yang menyatakan bahwa FOMO merupakan fenomena dalam dunia psikologi di mana orang–orang memiliki rasa cemas berlebihan dengan gejala seperti terobsesi pada hal–hal tertentu yang dilakukan oleh orang lain atau pada sesuatu yang sedang viral.  

Hal ini membuat apa pun yang dilakukan oleh orang lain tampak sangat menarik untuk ditiru, baik oleh mereka yang berada di sekitar maupun oleh pengguna media sosial.

Konsumen yang merasakan FOMO biasanya terdorong untuk membeli produk atau mengikuti tren yang sedang populer karena khawatir tertinggal dari lingkungannya.

Dengan demikian, FOMO berfungsi baik sebagai pendorong sosial maupun psikologis dalam pengambilan keputusan konsumen.

Tiga Prinsip Psikologi di Balik Fenomena FOMO

fenomena FOMO
Source: Freepik

Beberapa prinsip psikologi pemasaran turut memperkuat dampak FOMO, di antaranya:

1. Prinsip Scarcity

Prinsip ini mengedepankan kelangkaan, di mana penerapan marketing yang berpadu dengan psikologi yakni dengan penawaran terbatas. Hal ini sering terlihat pada flash sale tanggal kembar atau edisi terbatas yang membatasi jumlah produk, mendorong konsumen untuk membeli sebelum kehabisan.

2. Social Proof

Prinsip ini memengaruhi konsumen untuk melakukan pembelian dengan bukti sosial, biasanya berupa ulasan konsumen, testimoni, jumlah pembeli, hingga angka followers.

Fenomena tiket konser yang ludes dalam hitungan menit atau produk yang viral karena dipakai idola adalah contoh nyata dari prinsip ini, di mana banyaknya orang yang membeli menjadi bukti sosial kuat yang memicu pembelian.

3. Loss Aversion

Prinsip ini menunjukkan bahwa orang lebih takut kehilangan dibandingkan senang mendapatkan. Notifikasi ‘Jangan sampai ketinggalan manfaat ini’ atau ‘Lihat berapa banyak orang yang sudah membeli!’ secara halus memicu FOMO konsumen.

Menurut penelitian oleh Suhartini (2023), perilaku konsumen secara signifikan terbukti memengaruhi keputusan pembelian. Penelitian yang sama juga menemukan bahwa FOMO berperan sebagai moderator antara perilaku konsumen dan keputusan pembelian. Ini berarti FOMO dapat memperkuat atau mengubah bagaimana perilaku konsumen memengaruhi keputusan pembelian. 

Baca juga: Tingkatkan Loyalitas Konsumen FMCG Melalui Riset Pasar

Bagaimana Merek dan Peneliti Pasar Memanfaatkan FOMO?

Beberapa implikasi yang dapat dioptimalkan oleh beberapa merek dan peneliti pasar adalah sebagai berikut.

1. Rancang Kampanye yang Memicu Urgensi secara Sehat

  • Gunakan elemen scarcity atau limited-time offer untuk menciptakan rasa eksklusif, misalnya flash sale singkat atau edisi terbatas.
  • Pastikan informasi waktu dan jumlah tersedia transparan, agar konsumen tidak merasa dimanipulasi.

2. Padukan Social Proof dan Storytelling

  • Tampilkan testimoni pelanggan, angka “banyak orang sudah membeli”, atau live counter penjualan.
  • Manfaatkan platform sosial (TikTok, Instagram Live) untuk menunjukkan antusiasme pembeli secara real-time.

3. Uji & Ukur Efek FOMO

  • Lakukan A/B testing pada pesan yang mengandung unsur urgensi.
  • Pantau metrik seperti conversion rate selama periode promosi dan perilaku repeat purchase untuk menilai dampak jangka panjang.

4. Perhatikan Etika dan Kesehatan Konsumen

  • Hindari taktik yang menimbulkan tekanan berlebihan atau misinformasi, misalnya “stok tinggal 1” padahal tidak akurat.
  • Sertakan kebijakan pengembalian yang jelas agar konsumen tetap merasa aman.

5. Peran Peneliti Pasar

  • Identifikasi segmen konsumen yang paling responsif terhadap FOMO, misalnya Gen Z atau pembeli impulsif.
  • Sediakan insight berbasis data untuk menyeimbangkan efektivitas kampanye dengan tanggung jawab sosial brand.

Dengan memahami mekanisme fenomena FOMO, merek, pemasar, dan peneliti pasar dapat merancang kampanye yang memicu antusiasme tanpa mengorbankan etika, menjaga keseimbangan antara efektivitas dan kepercayaan konsumen.

Referensi:

populix research service

Baca juga: Survei Indeks Keyakinan Konsumen Indonesia 2025 Data Terbaru

Tags:
Artikel Terkait
Markov Chain Monte Carlo (MCMC): Definisi serta Kelebihannya
Markov Chain Monte Carlo (MCMC) adalah salah satu pendekatan yang digunakan peneliti dalam proses penelitian. Mengutip laman Research Connections, MCMC digunakan untuk memperkirakan sifat-sifat suatu distribusi dengan memeriksa sampel acak dari distribusi tersebut. Peneliti yang menggunakan pendekatan Monte Carlo mengambil sejumlah besar sampel acak dari distribusi normal, dan menghitung mean sampel dari sampel tersebut. Sampel […]
Barcode: Pengertian, Fungsi, Manfaat, Jenis & Cara Membuatnya
Barcode adalah salah satu fitur data optik yang cukup penting karena menawarkan kepraktisan dan kecepatan. Secara mendasar, barcode adalah sebuah kode batang yang berfungsi membantu proses pencarian produk dan pencatatan informasi dalam manajemen bisnis. Akan tetapi, sebetulnya fungsi barcode tidak hanya terbatas pada proses bisnis semata, melainkan juga untuk keperluan penyortiran lainnya sesuai jenis barcode. […]
Perlukah Melihat Peringkat Universitas S2? Ini Penjelasannya
Memilih kampus untuk melanjutkan pendidikan program magister atau pascasarjana bukanlah keputusan sepela. Salah satu hal yang sering jadi pertimbangan utama yaitu peringkat universitas S2. Mengapa demikian? Sebab, peringkat universitas kerap dianggap sebagai indikator kualitas pendidikan. Banyak calon mahasiswa merasa lebih percaya diri memilih kampus yang berada di peringkat atas. Akan tetapi, sebenarnya pentingkah melihat peringkat […]