Dulu, kegiatan lari identik dengan olahraga yang ‘murah’ – tidak perlu alat khusus, tinggal pakai sepatu, dan bisa langsung gas di jalanan. Namun, seiring berjalannya waktu, olahraga lari mengalami pergeseran makna. Bukan hanya soal keringetan dan bakar kalori, tetapi menjadi lifestyle yang lebih sehat, aktif, dan keren.
Kita bisa lihat dan observasi dari lingkungan kita, motivasi lari sangat beragam. Ada yang mencoba karena ingin ‘tantangan’ baru, breaking the old habit yang terlalu banyak diam di rumah. Ada yang tertarik karena diajak teman, lari bareng-bareng saat waktu senggang. Ada pula yang merasa butuh bentuk eskapisme ‘baru’ untuk meredakan stres dengan sesuatu yang positif dan produktif.
Masih banyak lagi motivasi-motivasi yang pastinya menarik untuk dikulik, yang menyebabkan lari tidak lagi sekadar olahraga yang menyehatkan, tetapi juga bagian dari personal stories dalam bentuk baru.
Menariknya, tren olahraga lari juga jadi momentum emas buat brand-brand tertentu untuk masuk dan engage dengan audiens. Banyak brand – baik itu sportswear, makanan sehat, hingga teknologi – mulai bikin brand activation lewat event-event lari, jadi sponsor di half-marathon, bahkan bikin race mereka sendiri. Sebut saja Women’s 10K yang disponsori AIA Vitality, Pocari Sweat Run, BNI-UI Half Marathon, dan masih banyak lagi. Mereka memberikan experience lengkap lewat race kit berupa jersey eksklusif, training bareng, medali dengan desain unik, dan lain-lain.
Dari sini kita bisa lihat, bahwa kegiatan lari juga bisa menjadi sarana untuk menyusun strategic branding yang kuat, karena audiensnya engaged secara emosional.
Baca juga: Tren Olahraga di Indonesia Berkembang Jadi Tren Gaya Hidup

Lari, dalam hal ini, jadi medium interaksi yang lebih bermakna antara brand dengan customer, karena audiensnya tidak hanya datang untuk membeli, tetapi ikut ‘nyemplung’ dalam experience-nya; lari bareng, capek bareng, senang bareng karena bisa finish di garis race. Kesannya jadi lebih dekat, lebih relevan, dan tidak maksa.
Pada akhirnya, aktivitas lari yang dulu cuma jadi opsi olahraga yang murah dan gampang, sekarang sudah berubah level, yakni menjadi bagian dari gaya hidup kekinian yang meaningful dan punya cerita. Aktivitas lari berubah menjadi ruang untuk mengekspresikan diri, tempat untuk menjajaki pencapaian personal, bahkan wadah untuk membangun koneksi sosial.
Lebih seru lagi, perubahan ini tidak hanya di skala individu saja – brand, komunitas, dan teknologi juga ikut ‘nimbrung’, membentuk ekosistem lari yang lebih hidup dan dinamis. Karena terkadang, olahraga lari bukan cuma soal mencapai finish line, tapi soal perjalanan, relasi, dan versi diri kita yang pelan-pelan terus bertumbuh.

Baca juga: Olahraga Lari Marathon, Apakah Khalayak Tertarik Mencobanya?